Kamis, 02 Mei 2013


HUKUM MEMAKAN BINATANG BURUAN
OLEH : DRS.H.M.SAKTI RANGKUTI,MA
GURU AGAMA ISLAM SMAN 1 GALANG KECAMATAN GALANG
KA.MTS.ALWASHLIYAH PULAU GAMBAR KECAMATAN SERBA JADI  SERDANG BEDAGAI
PENGURUS KBIH SHAFA WAL MARWAH KABUPATEN DELI SERDANG
Firman Allah SWT. Dalam surah al-Maidah ayat   :  4
“ Yasaluunaka maazaa uhilla lahum  qul uhilla lakum al-thayyibaatu wa maa ‘allamtum min al-jawaarihi mukallibiina tu’allimuunahunna mimmaa ‘allamakumullahu fakuluu mimmaa amsakna ‘alaikum wazkuruusmallahi ‘alaihi  wattaqullaha innallaha sarii’u al hisaabi”.
Artinya : 
Mereka bertanya kepadamu : “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah : “Ddihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu. Kamu mengajar mereka menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada kamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. “
Pada ayat sebelumnya (al-Maidah ayat : 3) dijelaskan izin untuk berburu dan larangan memakan bangkai, dan di sisi lain ada binatang buruan yang mati terbunuh oleh anjing yang terlatih, maka para sahabat bertanya masalah hal tersebut. Maka, turunlah ayat ini (al-Maidah ayat : 4) menjelaskan bahwa: Mereka bertanya kepadamu (Muhammad): “Apakah yang dihalalkan bagi mereka? “ Katakanlah: “Dihalalkan bagi kamu segala yang baik-baik, yaitu yang sesuai dengan pedoman agama dan atau yang sejalan dengan selera kamu- selama tidak ada ketentuan agama yang melarangnya, termasuk binatang halal yang kamu sembelih sebagaimana diajarkan oleh Rasul SAW. dan dihalalkan juga buat kamu binatang yang halal hasil buruan oleh binatang buas seprti anjing, singa, harimau, burung yang telah kamu ajar dengan melatihnya dengan bersungguh-sungguh untuk berburu, yakni menangkap binatang dan memperolehnya guna diberikan kepada kamu,bukan untuk diri mereka.
Kamu mengajar mereka, yakni binatang-binatang itu, menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada kamu tentang  tata cara melatih binatang. Jika demikian itu yang kamu lakukan, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kamu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu sewaktu kamu melepasnya untuk berburu. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya, yakni perhitungan-Nya.”
Kata “al-thayyiibaatu “ adalah bentuk jamak dari kata “thayyibun”. Dari segi bahasa, berarti “ baik, lezat,menenteramkan, paling utama, dan sehat “. Kita dapat mengatakan bahwa makna kata tersebut dalam konteks ini adalah “makanan yang tidak kotor dari segi zatnya, atau rusak (kadaluarsa), atau tercampur najis”. Dapat juga dikatakan bahwa yang “thayyib” dari makanan adalah “yang mengundang selera bagi yang memakannya dan tidak membahayakan fisik serta akalnya.” Ia adalah “makanan yang sehat, proporsional, dan aman.” Tentu saja, iapun harus halal. Karena itu, perintah makan jika menyebut kata “thayyib” sering dirangkaikan dengan kata yang menggunakan kata “halal”.
Makanan yang “sehat” adalah yang memiliki zat gizi yang cukup dan seimbang. Yang “proporsional”, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pemakan, tidak berlebih dan tidak berkurang. Ada makanan untuk anak, ada juga untuk orang dewasa. Sedang “aman” adalah yang mengakibatkan rasa aman jiwa dan kesehatan pemakannya karena ada makanan yang sesuai untuk kondisi si A dan ada juga yang tidak. Disisi lain, kata “aman” juga disamping mencakup rasa aman dalam kehidupan dunia, juga aman dalam kehidupan akhirat. Dari sini lahir anjuran untuk meninggalkan makanan-makanan yang mengandung “ syubhat “ (keraguan tentang kehalalannya).
Kata “mukallibiina” berasal dari kata “kalb”, yang berarti “anjing”. “Mukallabiin” artinya anjing-anjing yang sengaja yang telah diajar dan terlatih. Pemilihan kata yang terambil dari kata itu karena anjing adalah binatang terlatih yang populer.
Kata yang mengandung makna “kamu ajar dengan melatihnya”  itu agaknya sengaja ditekankan di sini,walau sesudah kalimat itu disebutkan lagi kalimat “kamu mengajar mereka” untuk mengisyaratkan bahwa pengajaran binatang-binatang itu hendaknya dilakukan melalui pelatihan yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh mereka yang memiliki keahlian dan pengalaman dalam bidang tersebut.
Tanda-tanda yang menunjukkan bahwa binatang pemburu dimaksud benar-benar telah terlatih adalah apabila ia diperintah pergi ia pergi, bila dilarang ia tunduk, bila dicegah ia menurut. Ia menangkap binatang buruan, tidak memakannya, bahkan kembali pada tuannya membawa buruan saat ia dipanggil.
Firman Allah : “fakuluu mimmaa amsakna ‘alaikum” yang artinya “maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kamu” dipahami oleh ulama-ulama yang bermazhab Syafi’I dan Hanbali bahwa, jika binatang pemburu itu memakan buruan yang ditangkapnya, binatang tersebut haram hukumnya dimakan karena ia tidak menangkapnya  “untuk kamu” tetapi “untuk dirinya”. Mazhab Imam Malik menilai tidak haram hukumnya walau binatang pemburu memakan sebagian selama ia membawa sebagian yang lain kepada tuannya.
Firman Allah : “ wazkuruu ismallahi ‘alaihi” artinya “sebutlah nama Allah atas binatang buas itu” ketika melepasnya, ada ulama yang  memahaminya sebagai perintah wajib, ada juga yang memahaminya sebagai perintah sunnah. Ada lagi yang menyatakan jika dengan sengaja tidak membaca “Basmalah”, maka hasil buruan tersebut  menjadi “haram” hukumnya. Persoalan membaca “Basmalah”, insya Allah akan dibahas lebi h terperinci ketika nanti menafsirkan QS. Al-An’am surah ke enam ayat 121.
Ayat ini ditutup dengan firman Allah yang artinya : “ Dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya (perhitungan-Nya), antara lain untuk mengisyaratkan agar dalam berburu kiranya ketentuan Allah selalu diperhatikan. Jangan sampai terjadi pelampauan batas dalam pembunuhan, jangan sampai pula terjadi pembunuhan terhadap jenis binatang buruan, jangan juga berburu untuk mencari sekedar kesenangan dan menghabiskan waktu karena, jika demikian, Allah akan menjatuhkan sanksi-Nya dengan cepat di dunia sebelum di akhirat nanti.
Memang, ayat ini tidak melarang perburuan . Allah juga tidak melarang penyembelihan binatang. Tetapi, yang perlu diingat agar pemburu dan penyembelih tidak hampa rasa sehingga mengakibatkan binatang tersiksa, atau punah, atau sia-sia hidupnya.
Binatang yang disembelih atau yang diperoleh melalui pemburuan  untuk dimakan, atau dipelihara dengan tujuan-tujuan yang benar, tidak bertentangan dengan rahmat dan kasih sayang. Karena, memang Allah telah menjadikan hidup dan kehidupan ini demikian. Tidak sesuatupun dalam hidup makhluk ini yang tidak berubah dan beralih, atau katakanlah tidak makan dan dimakan. Demikian juga halnya dunia materi. Tumbuh-tumbuhan memakan tanah  atau apa yang terdapat dalam tanah, selanjutnya tanahpun memakan tumbuh-tumbuhan, dan mengalihkan kembali ke unsur-unsur  pertama tumbuhan itu. Binatang memakan tumbuhan,  menghirup udara, bahkan memburu memakan satu sama lain. Demikian hidup ini, tetapi manusia diberi tuntunan.Tidak semua boleh dimakan karena ada makanan yang berdampak buruk terhadap kesehatan jasmani dan ruhaninya. Di sisi lain, semua tidak boleh disia-siakan, bukan saja karena masih ada selain manusia atau generasi masa kini yang membutuhkannya, tetapi juga karena setiap yang diciptakan Allah mempunyai tujuan. Tujuan itu adalah “haq”, antara lain bahwa binatang dapat diburu dan disembelih untuk dimakan, tetapi rahmat dan kasih sayang terhadapnya ketika diburu dan disembelih harus tetap menghiasi penyembelih dan pemburu. Kalau tidak, hati-hatilah karena Allah Maha Cepat perhitungan-Nya.

PERSOALAN MEMBACA BASMALLAH.
Firman Allah swt. Surah al- an’am ayat 121 :
“Wa laa ta’kuluu mimmaa lam yuzkari ismullahi  ‘alaihi  wa innahuu lafisqun wa inna al-syayaathiina layuuhuuna ilaa auliyaaihim liyujaadiluukum wa in itha’tumuuhum innakum lamusyrikuuna”.
Artinya :
“Dan janganlah kamu memakan dari apa yang tidak disebut nama Allah atasnya, dan sesungguhnya ia sungguh adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syetan-syetan membisikkan kepada kawan-kawan mereka agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.”
Setelah kita memperhatikan ayat yang lalu yakni  ayat 4 surah al-Maidah Allah SWT. Memerintahkan untuk memakan apa yang bermanfaat buat mereka di dunia dan akhirat, sambil mengingatkan untuk menjauhi segala macam dosa, yakni sembelihan yang tidak disebut nama Allah, sekaligus menjelaskan sebab larangan tersebut dan sebab keterjerumusan manusia dalam larangan itu. Ayat ini menegaskan bahwa, “Dan janganlah”juga “ kamu memakan dari apa”, yakni walau sedikitpun dari binatang-binatang yang halal “yang tidak disebut nama Allah atasnya” ketika menyembelihnya. “Dan sesungguhnya ia “, yakni memakannya dan atau sembelihan itu, “sungguh adalah” – demikian ayat ini sekali lagi menguatkan kesungguhan pesannya – “suatu kefasikan”, yakni sikap dan perbuatan yang mengatur keluarnya seseorang dari koridor agama.
Selanjutnya,  ayat ini mengingatkan setiap orang yang boleh jadi terpengaruh secara negatif oleh satu dan lain hal bahwa : “sesungguhnya syetan-syetan” itu “membisikkan” dengan merayu “kepada kawan-kawannya”, yakni pemuka-pemuka kaum musyrikin, “agar mereka membantah kamu” antara lain menyangkut bangkai dan memakan sesuatu yang disembelih atas nama berhala; “dan jika kamu menuruti mereka” dalam pandangan mereka,yakni ikut menghalalkan makanan yang diharamkan Allah atau meragukan kebenaran hukum Allah, maka “sesungguhnysa kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” karena, dengan demikian, kamu mengabaikan syariat Allah dan menggantinya dengan kesesatan penyembah berhala.
Kata “musyrikun” pada penutup ayat ini dapat juga dipahami dalam arti pada suatu ketika “akan menjadi musyrik”. Ayat ini merupakan peringatan buat mereka bahwa, jika mereka mengikuti  pandangan orang musyrik itu, ini adalah langkah pertama dari tipu daya syetan yang akan disusul oleh langkah-langkah yang lain sehingga pada akhirnya, jika kamu terus menerus  memperturutkannya, “tentulah kamu akan menjadi musyrik”.
Ayat ini mengundang  diskusi  para ulama tentang halal tidaknya memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah SWT. Ketika menyembelihnya, walau yang menyembelihnya seorang muslim. Dalam hal ini, kita temukan tiga pendapat yang populer;
1.        Menyatakan bahwa tidak halal memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, baik dengan sengaja maupun lupa. Mereka berpegang  antara lain pada teks ayat  121 surah al-an’am ini.
Pendapat ini anatara lain dianut oleh pakar hukum Dawud azh-Zhahiri.

2.        Menyatakan bahwa menyebut nama Allah ketika menyembelih bukanlah suatu yang wajib tetapi anjuran. Tidak menyebut  nama Allah, baik dengan sengaja apalagi lupa, tidak mengakibatkan haramnya sembelihan binatang yang  halal itu.
Ini adalah pendapatnya Imam Syafi’I, Imam Malik , Imam Ahmad bin Hanbal, menurut satu riwayat. Penganut pandangan atau pendapat ini  menyatakan bahwa larangan ayat di atas  adalah dalam konteks penyembelihan untuk selain Allah SWT. , misalnya dengan menyebut nama berhala sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang musyrik. Mereka juga berpegang kepada keterangan sahabat Nabi SAW., Ibnu Abbas yang berkata : “ Kalau seorang muslim menyembelih dan dia tidak membaca  Basmallah, hendaklah ia memakannya karena dalam diri muslim ada nama dari nama-nama Allah”. H.R. ad- Daruquthni.
3.        Menyatakan bahwa  tidak terlarang memakannya bila lupa, tetapi haram memakannya bila meninggalkan penyebutan nama Allah dengan sengaja.
Pendapat ini dianut antara lain oleh mazhab Ahmad bin Hanbal dan Abu Hanifah.
Mereka berpegang pada salah satu prinsip dasar pertanggungjawaban yakni sabda Rasulullah SAW.” Sesungguhnya  Allah telah menggugurkan pertanggungjawaban dari siapa yang keliru (bukan karena kecerobohan), yang lupa serta apa yang dipaksakan atasnya”.

Perlu digarisbawahi yang dikmaksud dengan  menyebut  nama Allah, tidak mutlak dalam arti membaca Basmalah, tetapi cukup dengan menyebut salah  satu nama-Nya. Bahkan, kata “dzikir” oleh ayat ini menurut pandangan Prof.DR.Quraish shihab menterjemahkannya dengan kata “menyebut” yang dapat mengandung  makna-makna yang berbeda.
Mutawalli asy-Sya’rawi  beliau menulis dalam tafsirnya bahwa yang menimbulkan perbedaan pendapat adalah tidak dibatasinya apa yang dimaksud dengan “dzikir” dalam firman Allah (yudzkar ismu Allah) yang artinya “disebut nama Allah”. Asy-Sya’rawi bertanya apakah yang dimaksud dengan “dzikir” adalah menyebut nama Allah dengan lidah atau sekedar terlintas dalam hati? Ulama Mesir kontemporer ini cenderung memahami kata “dzikir” dalam arti ” terlintas dalam hati “ dengan alasan bahwa Rasulullah SAW. dalam hadits beliau menggunakan kata itu untuk sesuatu yang terlintas dalam hati. Karena itu, asy-Sya’rawi mengokohkan pendapat Imam Syafi’I di atas. Seorang muslim – tulisnya – boleh jadi enggan menyembelih seekor binatang yang bentuk penampilannya lebih indah daripada binatang halal yang lain. Ini karena dalam hati seorang muslim, ketika akan tampil menyembelih, selalu terlintas apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkan Allah SWT. Dan ini menunjukkan bahwa ketika itu dia mengingat Allah SWT. Yang berwenang menghalalkan dan mengharamkan. Pemilihan binatang halal  - oleh seorang muslim – telah merupakan bukti dia mengingat atau dalam istilah ayat ini “ berdzikir” kepada Allah. Hal ini telah cukup untuk menilai sembelihannya halal, baik ia mengucapkan dzikir itu dengan lidahnya, maupun tidak. Demikian pandangan asy-Sya’rawi  dalam konteks menguatkan pendapat Imam Syafi’i.

Apa yang dikemukakan di atas adalah tinjauan hukum, ada baiknya menyinggung pula pandangan yang memahami ayat 121 ini dari tinjauan lain. Syeikh Abdul Halim Mahmud, mantan Pemimpin Tertinggi  al-Azhar, menulis dalam bukunya  yang berjudul, “al-Islam wa al-‘Aql”, tentang perintah membaca yang terdapat dalam surah al-Alaq, yakni : “iqra’ bismi Rabbika”  dengan mengaitkannya dengan larangan ayat ini : “wa laa ta’kuluu mimmaa lam yudzkarismullah ‘alaihi wa innahuu lafiskun” yang artinya  “dan janganlah kamu memakan dari apa yang tidak disebut nama Allah atasnya, dan sesungguhnya ia sungguh adalah suatu kepasikan”.

Menurut beliau, Allah SWT. Tidak memaksudkan dari perintah “iqra” sekedar  perintah “membaca” saja, tetapi membaca adalah lambing dari segala kegiatan manusia yang bersifat aktif dan apa yang ditinggalkan manusia dari segi pasif. Kalimat itu  bermaksud mengatakan dari segi kandungan pesan dan jiwanya bahwa : Bacalah demi nama Tuhanmu, bergeraklah demi nama Tuhanmu, berbicaralah demi  nama Tuhanmu, bekerjalah demi nama Tuhanmu.Adapun jika engkau enggan melakukan gerak atau aktivitas, hendaknya hal itu juga demi karena Tuhanmu dan, dengan demikian, pada akhirnya makna ayat itu adalah jadikan hidupmu secara keseluruhan, eksistensimu semuanya, baik sebab maupun tujuannya adalah untuk Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Selanjutnya, ulama besar itu menulis : “Kalau ayat mulia ini jelas maknanya dari sisi aktif yang mendorong untuk menjadikan bacaan dengan nama Allah”, sisi pasif – turun juga kemudian- ayat-ayat yang sangat tegas petunjuknya serta jelas maknanya yang menyatakan : “Dan janganlah kamu memakan dari apa yang tidak disebut nama Allah atasnya, dan sesungguhnya ia sungguh adalah suatu kefasikan.” Apa yang disembelih di atas berhala atau atas namanya, bukanlah sesuatu yang dimaksudkan untuk  wajah Ilahi. Dengan demikian, ia juga suatu kefasikan karena ketika itu tidak disebut nama Allah, itu berarti apa yang tidak disebut nama Allah atasnya haruslah dihindari. Melakukannya ketika itu adalah kefasikan yang berbeda-beda tingkatannya dalam kekejian – tinggi atau rendah, sedikit atau banyak .” Demikian, pandangan Syeikh Abdul Halim Mahmud.

SUMBER BACAAN :
1.        Tafsir al-Misbah jilid. 3, M.QURAISH SHIHAB.PROF.DR.
2.        Mukjizat al-Qur’an,  M.QURAISH SHIHAB.PROF.DR.
3.        Qur’an dan Terjemahannya, KEMENTERIAN AGAMA RI.
4.        Fiqih Sunnah, SYEIKH SAYYID SABI’.
5.        Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, SYEIKH SAYYID KUTUB.
6.        Fiqih Indonesia, M.HAMDAN RASYID, DR,MA.KH.
7.      IBNU TAIMIYAH, Dalam Pembaruan Salafi & Dakwah Reformasi, SYEIKH SAID ABDUL AZHIM,DR.
8.      Shahih Bukhari.
9.       Kumpulan Hadits-hadits Shahih.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar