Senin, 13 Mei 2013

MAMPUKAH MANUSIA MERUBAH TAKDIR?



Mampukah Manusia Mengubah Takdir ?
USTADZ.DRS.HM.SAKTI RANGKUTI,MA.
GURU AGAMA ISLAM SMAN 1 GALANG DELI SERDANG
Selalu menggelitik memang untuk memahami apa yang akan terjadi esok, lusa, minggu depan, tahun depan, atau seratus tahun ke depan !. Apakah takdir bisa berubah?, apa yang menyebabkan perubahan takdir, dimana Allah berposisi dan melakukan reposisi terhadap takdir?. Dan banyak lagi pertanyaan di wilayah ini.
Tidak heran pembuat buku Salat Smart yang bukunya sudah beredar di negeri Jiran mengulas dan mempertanyakan : Perlukah Memilih Takdir. Satu pertanyaan yang saya jadi ragu mengelaborasinya, karena memang ada beberapa pandangan dalam cara kita melihat takdir.


Saya  lebih melihat bahwa takdir itu adalah ketentuan Allah. Dan ketentuan itu tidak akan mengalami perubahan ataupun kalaupun berubah, maka manusia “ditakdirkan” untuk tidak mampu mengamati perubahan dari takdir itu sendiri.
Allah berfirman :
QS 48. Al Fath 23. Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.
Firman ini menegaskan bahwa kita tidak akan dapat menemukan perubahan (melalui pengamatan) bahwa takdir mengalami perubahan. Jadi apa saja yang kita akan jalani dalam kehidupan, termasuk mimpi-mimpi sekalipun berada dalam arena yang telah ditetapkan.  Kemanapun kita melakukan pilihan melangkah, termasuk menghindari terantuk dari batu, atau memilih makanan pedas atau asin, semua adalah pilihan dari takdir.  Jadi kemanapun kita berjalan, kita akan memenuhi takdir kita !.
Pertanyaan yang aneh ?

Disini kita menangkap dua pengertian terhadap takdir dalam  masyarakat :
Pertama : Takdir sebagai suatu ketentuan yang tidak mengalami perubahan dan telah berlaku sejak dahulu, seperti disampaikan ayat di atas. Dalam pemahaman ini, tentunya bekerja aksi-reaksi, hukum-hukum alam atau hukum fisika yang diberlakukan sejak penciptaan pertama terhadap hukum-hukum alam semesta.
Kedua   : Takdir sebagai prosesi kejadian - Yang terjadi pada manusia.  Ketika manusia berada pada posisi beruntung, entah mendapat jodoh atau diterima untuk bekerja, maka yang bersangkutan mencapai suatu posisi dari pilihan takdirnya.
Kembali ke pertanyaan awal : Dapatkah manusia mengubah takdir?.
Pertanyaan ini sulit juga untuk dijawab.  Kok ditanya lagi !, bukankah kita "tidak akan" mampu melihat perubahan takdir.  Tapi, jelas pula bahwa Allah juga tidak menyebutkan bahwa takdir itu tidak akan berubah, takdir bisa berubah, namun manusia tidak mampu menemukan perubahannya.  Kalau begitu, bagaimana manusia tahu bahwa telah terjadi perubahan takdir !.

Bisakah mengubah  takdir? Banyak orang malas yang menjadikan takdir sebagai dalih atas kemalasannya. Padahal, takdir itu bisa diubah. 'Memang, tidak semua takdir bisa diubah'. Misalnya, jika kita ditakdirkan sebagai seorang laki-laki, tidak bisa diubah menjadi seorang perempuan ( walaupun ada yang merubah dari laki-laki jadi perempuan ini bukan merubah takdir tapi mendustai takdir).
Cara yang benar dan tepat, tentu saja harus bersumber dari Pembuat takdir yang tiada lain Allah SWT melalui Al Quran dan Hadits Nabi saw.
Bagi Anda yang belum tahu, bahwa takdir bisa diubah, silahkan simak hadist berikut:
Hadits dari Imam Turmudzi dan Hakim, diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa Nabi SAW Bersabda :
“Barangsiapa hatinya terbuka untuk berdo’a, maka pintu-pintu rahmat akan dibukakan untuknya. Tidak ada permohonan yang lebih disenangi oleh Allah daripada permohonan orang yang meminta keselamatan. Sesungguhnya do’a bermanfa’at bagi sesuatu yang sedang terjadi dan yang belum terjadi. Dan tidak ada yang bisa menolak taqdir kecuali do’a, maka berpeganglah wahai hamba Allah pada do’a”. (HR Turmudzi dan Hakim)

Cara Mengubah Takdir

Yang pertama Yaitu dengan berdo’a. Dalilnya ialah hadits diatas.
Yang kedua Yaitu Bersedekah. Rasulullah SAW pernah bersabda :“Silaturrahmi dapat memperpanjang umur dan sedekah dapat merubah taqdir yang mubram” (HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Imam Ahmad).
Yang ketiga yaitu Bertasbih. Ada hadits yang diriwayatkan dari Sa’ad Ibnu Abi Waqosh, Rasulullah bersabda : “Maukah kalian Aku beritahu sesuatu do’a, yang jika kalian memanfa’atkan itu ketika ditimpa kesedihan atau bencana, maka Allah akan menghilangkan kesedihan itu?  Para sahabat menjawab : “Ya, wahai Rasululullah, Rasul bersabda “Yaitu do’a “Dzun-Nun : “LA ILAHA ILLA ANTA SUBHANAKA INNI KUNTU MINADH-DHOLIMIN” (Tidak ada Tuhan selain Engkau, maha suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk diantara orang-orang yang dholim”). (H.R. Imam Ahmad, At-Turmudzi dan Al-Hakim).
Yang keempat yaitu Bershalawat ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ubay Ibnu Ka’ab, bahwa ada seorang laki-laki telah mendedikasikan semua pahala sholawatnya untuk Rasulullah SAW, maka Rasul berkata kepada orang tersebut : “Jika begitu lenyaplah kesedihanmu, dan dosamu akan diampuni” (H.R Imam Ahmad At-Tabroni)


“Tidak ada yang mengubah takdir kecuali do’a”
Dalam sebuah hadits Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjelaskan bahwa taqdir yang Allah ta’aala telah tentukan bisa berubah. Dan faktor yang dapat mengubah takdir ialah doa seseorang.
Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam:
“Tidak ada yang dapat menolak taqdir (ketentuan) Allah ta’aala selain do’a. Dan Tidak ada yang dapat menambah (memperpanjang) umur seseorang selain (perbuatan) baik.” (HR Tirmidzi 2065)

Subhanallah…! Betapa luar biasa kedudukan do’a dalam ajaran Islam. Dengan do’a seseorang bisa berharap bahwa taqdir yang Allah ta’aala tentukan atas dirinya berubah. Hal ini merupakan sebuah berita gembira bagi siapapun yang selama ini merasa hidupnya hanya diwarnai penderitaan dari waktu ke waktu. Ia akan menjadi orang yang optimis. Sebab keadaan hidupnya yang selama ini dirasakan hanya berisi kesengsaraan dapat berakhir dan berubah. Asal ia tidak berputus asa dari rahmat Allah ta’aala dan ia mau bersungguh-sungguh meminta dengan do’a yang tulus kepada Allah ta’aala Yang Maha Berkuasa.
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah ta’aala mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).”
(QS Az-Zumar 53-54)

Demikianlah, hanya orang yang tetap berharap kepada Allah ta’aala saja yang dapat bertahan menjalani kehidupan di dunia betapapun pahitnya taqdir yang ia jalani. Ia akan senantiasa menanamkan dalam dirinya bahwa jika ia memohon kepada Allah ta’aala dalam keadaan apapun, maka derita dan kesulitan yang ia hadapi sangat mungkin berakhir dan bahkan berubah.
Sebaliknya, orang yang tidak pernah kenal Allah ta’aala dengan sendirinya akan meninggalkan kebiasaan berdo’a dan memohon kepada Allah ta’aala. Ia akan terjatuh pada salah satu dari dua bentuk ekstrimitas. Pertama, ia akan mudah berputus asa. Atau kedua, ia akan lari kepada fihak lain untuk menjadi sandarannya demi merubah keadaan. Padahal begitu ia bersandar kepada sesuatu selain Allah ta’aala –termasuk bersandar kepada dirinya sendiri- maka pada saat itu pulalah Allah ta’aala akan mengabaikan orang itu dan membiarkannya berjalan mengikuti situasi dan kondisi yang tersedia. Sedangkan orang tersebut dinilai sebagai seorang yang mempersekutukan Allah ta’aala dengan yang lain. Berarti orang tersebut telah jatuh ke dalam kategori seorang musyrik…!
“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.”
(QS Al-Mu’min 60)

Dan yang tidak kalah pentingnya bahwa seorang muslim tidak boleh pernah berhenti meminta kepadaNya, karena sikap demikian merupakan suatu kesombongan yang akan menjebloskannya ke dalam siksa Allah ta’aala yang pedih. Maka Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:
“Barangsiapa tidak berdo’a kepada Allah ta’aala, maka Allah ta’aala murka kepadaNya.” (HR Ahmad 9342)
Saudaraku, janganlah berputus asa dari rahmat Allah ta’aala. Bila Anda merasa taqdir yang Allah ta’aala tentukan bagi hidup Anda tidak memuaskan, maka tengadahkanlah kedua tangan dan berdo’alah kepada Allah ta’aala. Allah ta’aala Maha Mendengar dan Maha Berkuasa untuk mengubah taqdir Anda. Barangkali di antara do’a yang baik untuk diajukan sebagai bentuk harapan agar Allah ta’aala mengubah taqdir ialah sebagai berikut:
“Ya Allah, perbaikilah agamaku untukku yang mana ia merupakan penjaga perkaraku. Perbaikilah duniaku yang di dalamnya terdapat kehidupanku. Perbaikilah akhiratku untukku yang di dalamnya terdapat tempat kembaliku. Jadikanlah hidupku sebagai tambahan untukku dalam setiap kebaikan, serta jadikanlah matiku sebagai istirahat untukku dari segala keburukan.” (HR Muslim 4897)

Iman Kepada Takdir Baik dan Buruk
Banyak orang mengenal rukun iman tanpa mengetahui makna dan hikmah yang terkandung alam keenam rukun iman tersebut. Salah satunya adalah iman kepada takdir. Tidak semua orang yang mengenal iman kepada takdir, mengetahui hikmah dibalik beriman kepada takdir dan bagaimana mengimani takdir. Berikut sedikit ulasan mengenai iman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk.

Takdir (qadar) adalah perkara yang telah diketahui dan ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan telah dituliskan oleh al-qalam (pena) dari segala sesuatu yang akan terjadi hingga akhir zaman. (Terj. Al Wajiiz fii ‘Aqidatis Salafish Shalih Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 95)

Allah telah menentukan segala perkara untuk makhluk-Nya sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu (azali) dan ditentukan oleh hikmah-Nya. Tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan atas kehendak-Nya dan tidak ada sesuatupun yang keluar dari kehendak-Nya. Maka, semua yang terjadi dalam kehidupan seorang hamba adalah berasal dari ilmu, kekuasaan dan kehendak Allah, namun tidak terlepas dari kehendak dan usaha hamba-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,
إنا كل شىء خلقنه بقدر
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Qs. Al-Qamar: 49)
وخلق كـل شىء فقدره, تقديرا
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Qs. Al-Furqan: 2)
وإن من شىء إلا عنده بمقدار
“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (Qs. Al-Hijr: 21)

Mengimani takdir baik dan takdir buruk, merupakan salah satu rukun iman dan prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tidak akan sempurna keimanan seseorang sehingga dia beriman kepada takdir, yaitu dia mengikrarkan dan meyakini dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu berlaku atas ketentuan (qadha’) dan takdir (qadar) Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يؤمن عبد حتى يؤمن بالقدر خبره وشره حتى بعلم أن ما أصابه لم يكن ليخطئه وأن ما أخطأه لم يكن ليصيبه
“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada qadar baik dan buruknya dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya.”(Shahih, riwayat Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/451) dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 6985) dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Syaikh Ahmad Syakir berkata: ‘Sanad hadits ini shahih.’

Minggu, 12 Mei 2013

HUKUM MENYANYI DAN MUSIK DALAM FIQIH ISLAM


Hukum Menyanyi dan Musik dalam Fiqih Islam
EDITOR : DRS.HM.SAKTI RANGKUTI,MA
21 JANUARI 2013
Posted by Farid Ma'ruf pada 18 Januari 2007
Soal: Ustadz yang terhormat, saya mau nanya bagaimana hukumnya menanyi dan musik dalam pandangan Islam? Karena ada sebagian ulama yang mengharamkan, tapi ada sebagian ulama yang membolehkan. Mohon penjelasannya.
Jawab: 1. Pendahuluan
Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi.Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.
Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut paham sekularisme yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb mengatakan sekularisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah) (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, hal. 25). Dengan demikian, sekularisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan seni vokal (nyanyian).
Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.

Kamis, 02 Mei 2013


HUKUM MEMAKAN BINATANG BURUAN
OLEH : DRS.H.M.SAKTI RANGKUTI,MA
GURU AGAMA ISLAM SMAN 1 GALANG KECAMATAN GALANG
KA.MTS.ALWASHLIYAH PULAU GAMBAR KECAMATAN SERBA JADI  SERDANG BEDAGAI
PENGURUS KBIH SHAFA WAL MARWAH KABUPATEN DELI SERDANG
Firman Allah SWT. Dalam surah al-Maidah ayat   :  4
“ Yasaluunaka maazaa uhilla lahum  qul uhilla lakum al-thayyibaatu wa maa ‘allamtum min al-jawaarihi mukallibiina tu’allimuunahunna mimmaa ‘allamakumullahu fakuluu mimmaa amsakna ‘alaikum wazkuruusmallahi ‘alaihi  wattaqullaha innallaha sarii’u al hisaabi”.
Artinya : 
Mereka bertanya kepadamu : “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah : “Ddihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu. Kamu mengajar mereka menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada kamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. “
Pada ayat sebelumnya (al-Maidah ayat : 3) dijelaskan izin untuk berburu dan larangan memakan bangkai, dan di sisi lain ada binatang buruan yang mati terbunuh oleh anjing yang terlatih, maka para sahabat bertanya masalah hal tersebut. Maka, turunlah ayat ini (al-Maidah ayat : 4) menjelaskan bahwa: Mereka bertanya kepadamu (Muhammad): “Apakah yang dihalalkan bagi mereka? “ Katakanlah: “Dihalalkan bagi kamu segala yang baik-baik, yaitu yang sesuai dengan pedoman agama dan atau yang sejalan dengan selera kamu- selama tidak ada ketentuan agama yang melarangnya, termasuk binatang halal yang kamu sembelih sebagaimana diajarkan oleh Rasul SAW. dan dihalalkan juga buat kamu binatang yang halal hasil buruan oleh binatang buas seprti anjing, singa, harimau, burung yang telah kamu ajar dengan melatihnya dengan bersungguh-sungguh untuk berburu, yakni menangkap binatang dan memperolehnya guna diberikan kepada kamu,bukan untuk diri mereka.
Kamu mengajar mereka, yakni binatang-binatang itu, menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada kamu tentang  tata cara melatih binatang. Jika demikian itu yang kamu lakukan, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kamu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu sewaktu kamu melepasnya untuk berburu. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya, yakni perhitungan-Nya.”
Kata “al-thayyiibaatu “ adalah bentuk jamak dari kata “thayyibun”. Dari segi bahasa, berarti “ baik, lezat,menenteramkan, paling utama, dan sehat “. Kita dapat mengatakan bahwa makna kata tersebut dalam konteks ini adalah “makanan yang tidak kotor dari segi zatnya, atau rusak (kadaluarsa), atau tercampur najis”. Dapat juga dikatakan bahwa yang “thayyib” dari makanan adalah “yang mengundang selera bagi yang memakannya dan tidak membahayakan fisik serta akalnya.” Ia adalah “makanan yang sehat, proporsional, dan aman.” Tentu saja, iapun harus halal. Karena itu, perintah makan jika menyebut kata “thayyib” sering dirangkaikan dengan kata yang menggunakan kata “halal”.
Makanan yang “sehat” adalah yang memiliki zat gizi yang cukup dan seimbang. Yang “proporsional”, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pemakan, tidak berlebih dan tidak berkurang. Ada makanan untuk anak, ada juga untuk orang dewasa. Sedang “aman” adalah yang mengakibatkan rasa aman jiwa dan kesehatan pemakannya karena ada makanan yang sesuai untuk kondisi si A dan ada juga yang tidak. Disisi lain, kata “aman” juga disamping mencakup rasa aman dalam kehidupan dunia, juga aman dalam kehidupan akhirat. Dari sini lahir anjuran untuk meninggalkan makanan-makanan yang mengandung “ syubhat “ (keraguan tentang kehalalannya).
Kata “mukallibiina” berasal dari kata “kalb”, yang berarti “anjing”. “Mukallabiin” artinya anjing-anjing yang sengaja yang telah diajar dan terlatih. Pemilihan kata yang terambil dari kata itu karena anjing adalah binatang terlatih yang populer.
Kata yang mengandung makna “kamu ajar dengan melatihnya”  itu agaknya sengaja ditekankan di sini,walau sesudah kalimat itu disebutkan lagi kalimat “kamu mengajar mereka” untuk mengisyaratkan bahwa pengajaran binatang-binatang itu hendaknya dilakukan melalui pelatihan yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh mereka yang memiliki keahlian dan pengalaman dalam bidang tersebut.
Tanda-tanda yang menunjukkan bahwa binatang pemburu dimaksud benar-benar telah terlatih adalah apabila ia diperintah pergi ia pergi, bila dilarang ia tunduk, bila dicegah ia menurut. Ia menangkap binatang buruan, tidak memakannya, bahkan kembali pada tuannya membawa buruan saat ia dipanggil.
Firman Allah : “fakuluu mimmaa amsakna ‘alaikum” yang artinya “maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kamu” dipahami oleh ulama-ulama yang bermazhab Syafi’I dan Hanbali bahwa, jika binatang pemburu itu memakan buruan yang ditangkapnya, binatang tersebut haram hukumnya dimakan karena ia tidak menangkapnya  “untuk kamu” tetapi “untuk dirinya”. Mazhab Imam Malik menilai tidak haram hukumnya walau binatang pemburu memakan sebagian selama ia membawa sebagian yang lain kepada tuannya.
Firman Allah : “ wazkuruu ismallahi ‘alaihi” artinya “sebutlah nama Allah atas binatang buas itu” ketika melepasnya, ada ulama yang  memahaminya sebagai perintah wajib, ada juga yang memahaminya sebagai perintah sunnah. Ada lagi yang menyatakan jika dengan sengaja tidak membaca “Basmalah”, maka hasil buruan tersebut  menjadi “haram” hukumnya. Persoalan membaca “Basmalah”, insya Allah akan dibahas lebi h terperinci ketika nanti menafsirkan QS. Al-An’am surah ke enam ayat 121.
Ayat ini ditutup dengan firman Allah yang artinya : “ Dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya (perhitungan-Nya), antara lain untuk mengisyaratkan agar dalam berburu kiranya ketentuan Allah selalu diperhatikan. Jangan sampai terjadi pelampauan batas dalam pembunuhan, jangan sampai pula terjadi pembunuhan terhadap jenis binatang buruan, jangan juga berburu untuk mencari sekedar kesenangan dan menghabiskan waktu karena, jika demikian, Allah akan menjatuhkan sanksi-Nya dengan cepat di dunia sebelum di akhirat nanti.
Memang, ayat ini tidak melarang perburuan . Allah juga tidak melarang penyembelihan binatang. Tetapi, yang perlu diingat agar pemburu dan penyembelih tidak hampa rasa sehingga mengakibatkan binatang tersiksa, atau punah, atau sia-sia hidupnya.
Binatang yang disembelih atau yang diperoleh melalui pemburuan  untuk dimakan, atau dipelihara dengan tujuan-tujuan yang benar, tidak bertentangan dengan rahmat dan kasih sayang. Karena, memang Allah telah menjadikan hidup dan kehidupan ini demikian. Tidak sesuatupun dalam hidup makhluk ini yang tidak berubah dan beralih, atau katakanlah tidak makan dan dimakan. Demikian juga halnya dunia materi. Tumbuh-tumbuhan memakan tanah  atau apa yang terdapat dalam tanah, selanjutnya tanahpun memakan tumbuh-tumbuhan, dan mengalihkan kembali ke unsur-unsur  pertama tumbuhan itu. Binatang memakan tumbuhan,  menghirup udara, bahkan memburu memakan satu sama lain. Demikian hidup ini, tetapi manusia diberi tuntunan.Tidak semua boleh dimakan karena ada makanan yang berdampak buruk terhadap kesehatan jasmani dan ruhaninya. Di sisi lain, semua tidak boleh disia-siakan, bukan saja karena masih ada selain manusia atau generasi masa kini yang membutuhkannya, tetapi juga karena setiap yang diciptakan Allah mempunyai tujuan. Tujuan itu adalah “haq”, antara lain bahwa binatang dapat diburu dan disembelih untuk dimakan, tetapi rahmat dan kasih sayang terhadapnya ketika diburu dan disembelih harus tetap menghiasi penyembelih dan pemburu. Kalau tidak, hati-hatilah karena Allah Maha Cepat perhitungan-Nya.

PERSOALAN MEMBACA BASMALLAH.
Firman Allah swt. Surah al- an’am ayat 121 :
“Wa laa ta’kuluu mimmaa lam yuzkari ismullahi  ‘alaihi  wa innahuu lafisqun wa inna al-syayaathiina layuuhuuna ilaa auliyaaihim liyujaadiluukum wa in itha’tumuuhum innakum lamusyrikuuna”.
Artinya :
“Dan janganlah kamu memakan dari apa yang tidak disebut nama Allah atasnya, dan sesungguhnya ia sungguh adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syetan-syetan membisikkan kepada kawan-kawan mereka agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.”
Setelah kita memperhatikan ayat yang lalu yakni  ayat 4 surah al-Maidah Allah SWT. Memerintahkan untuk memakan apa yang bermanfaat buat mereka di dunia dan akhirat, sambil mengingatkan untuk menjauhi segala macam dosa, yakni sembelihan yang tidak disebut nama Allah, sekaligus menjelaskan sebab larangan tersebut dan sebab keterjerumusan manusia dalam larangan itu. Ayat ini menegaskan bahwa, “Dan janganlah”juga “ kamu memakan dari apa”, yakni walau sedikitpun dari binatang-binatang yang halal “yang tidak disebut nama Allah atasnya” ketika menyembelihnya. “Dan sesungguhnya ia “, yakni memakannya dan atau sembelihan itu, “sungguh adalah” – demikian ayat ini sekali lagi menguatkan kesungguhan pesannya – “suatu kefasikan”, yakni sikap dan perbuatan yang mengatur keluarnya seseorang dari koridor agama.
Selanjutnya,  ayat ini mengingatkan setiap orang yang boleh jadi terpengaruh secara negatif oleh satu dan lain hal bahwa : “sesungguhnya syetan-syetan” itu “membisikkan” dengan merayu “kepada kawan-kawannya”, yakni pemuka-pemuka kaum musyrikin, “agar mereka membantah kamu” antara lain menyangkut bangkai dan memakan sesuatu yang disembelih atas nama berhala; “dan jika kamu menuruti mereka” dalam pandangan mereka,yakni ikut menghalalkan makanan yang diharamkan Allah atau meragukan kebenaran hukum Allah, maka “sesungguhnysa kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” karena, dengan demikian, kamu mengabaikan syariat Allah dan menggantinya dengan kesesatan penyembah berhala.
Kata “musyrikun” pada penutup ayat ini dapat juga dipahami dalam arti pada suatu ketika “akan menjadi musyrik”. Ayat ini merupakan peringatan buat mereka bahwa, jika mereka mengikuti  pandangan orang musyrik itu, ini adalah langkah pertama dari tipu daya syetan yang akan disusul oleh langkah-langkah yang lain sehingga pada akhirnya, jika kamu terus menerus  memperturutkannya, “tentulah kamu akan menjadi musyrik”.
Ayat ini mengundang  diskusi  para ulama tentang halal tidaknya memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah SWT. Ketika menyembelihnya, walau yang menyembelihnya seorang muslim. Dalam hal ini, kita temukan tiga pendapat yang populer;
1.        Menyatakan bahwa tidak halal memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, baik dengan sengaja maupun lupa. Mereka berpegang  antara lain pada teks ayat  121 surah al-an’am ini.
Pendapat ini anatara lain dianut oleh pakar hukum Dawud azh-Zhahiri.

2.        Menyatakan bahwa menyebut nama Allah ketika menyembelih bukanlah suatu yang wajib tetapi anjuran. Tidak menyebut  nama Allah, baik dengan sengaja apalagi lupa, tidak mengakibatkan haramnya sembelihan binatang yang  halal itu.
Ini adalah pendapatnya Imam Syafi’I, Imam Malik , Imam Ahmad bin Hanbal, menurut satu riwayat. Penganut pandangan atau pendapat ini  menyatakan bahwa larangan ayat di atas  adalah dalam konteks penyembelihan untuk selain Allah SWT. , misalnya dengan menyebut nama berhala sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang musyrik. Mereka juga berpegang kepada keterangan sahabat Nabi SAW., Ibnu Abbas yang berkata : “ Kalau seorang muslim menyembelih dan dia tidak membaca  Basmallah, hendaklah ia memakannya karena dalam diri muslim ada nama dari nama-nama Allah”. H.R. ad- Daruquthni.
3.        Menyatakan bahwa  tidak terlarang memakannya bila lupa, tetapi haram memakannya bila meninggalkan penyebutan nama Allah dengan sengaja.
Pendapat ini dianut antara lain oleh mazhab Ahmad bin Hanbal dan Abu Hanifah.
Mereka berpegang pada salah satu prinsip dasar pertanggungjawaban yakni sabda Rasulullah SAW.” Sesungguhnya  Allah telah menggugurkan pertanggungjawaban dari siapa yang keliru (bukan karena kecerobohan), yang lupa serta apa yang dipaksakan atasnya”.

Perlu digarisbawahi yang dikmaksud dengan  menyebut  nama Allah, tidak mutlak dalam arti membaca Basmalah, tetapi cukup dengan menyebut salah  satu nama-Nya. Bahkan, kata “dzikir” oleh ayat ini menurut pandangan Prof.DR.Quraish shihab menterjemahkannya dengan kata “menyebut” yang dapat mengandung  makna-makna yang berbeda.
Mutawalli asy-Sya’rawi  beliau menulis dalam tafsirnya bahwa yang menimbulkan perbedaan pendapat adalah tidak dibatasinya apa yang dimaksud dengan “dzikir” dalam firman Allah (yudzkar ismu Allah) yang artinya “disebut nama Allah”. Asy-Sya’rawi bertanya apakah yang dimaksud dengan “dzikir” adalah menyebut nama Allah dengan lidah atau sekedar terlintas dalam hati? Ulama Mesir kontemporer ini cenderung memahami kata “dzikir” dalam arti ” terlintas dalam hati “ dengan alasan bahwa Rasulullah SAW. dalam hadits beliau menggunakan kata itu untuk sesuatu yang terlintas dalam hati. Karena itu, asy-Sya’rawi mengokohkan pendapat Imam Syafi’I di atas. Seorang muslim – tulisnya – boleh jadi enggan menyembelih seekor binatang yang bentuk penampilannya lebih indah daripada binatang halal yang lain. Ini karena dalam hati seorang muslim, ketika akan tampil menyembelih, selalu terlintas apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkan Allah SWT. Dan ini menunjukkan bahwa ketika itu dia mengingat Allah SWT. Yang berwenang menghalalkan dan mengharamkan. Pemilihan binatang halal  - oleh seorang muslim – telah merupakan bukti dia mengingat atau dalam istilah ayat ini “ berdzikir” kepada Allah. Hal ini telah cukup untuk menilai sembelihannya halal, baik ia mengucapkan dzikir itu dengan lidahnya, maupun tidak. Demikian pandangan asy-Sya’rawi  dalam konteks menguatkan pendapat Imam Syafi’i.

Apa yang dikemukakan di atas adalah tinjauan hukum, ada baiknya menyinggung pula pandangan yang memahami ayat 121 ini dari tinjauan lain. Syeikh Abdul Halim Mahmud, mantan Pemimpin Tertinggi  al-Azhar, menulis dalam bukunya  yang berjudul, “al-Islam wa al-‘Aql”, tentang perintah membaca yang terdapat dalam surah al-Alaq, yakni : “iqra’ bismi Rabbika”  dengan mengaitkannya dengan larangan ayat ini : “wa laa ta’kuluu mimmaa lam yudzkarismullah ‘alaihi wa innahuu lafiskun” yang artinya  “dan janganlah kamu memakan dari apa yang tidak disebut nama Allah atasnya, dan sesungguhnya ia sungguh adalah suatu kepasikan”.

Menurut beliau, Allah SWT. Tidak memaksudkan dari perintah “iqra” sekedar  perintah “membaca” saja, tetapi membaca adalah lambing dari segala kegiatan manusia yang bersifat aktif dan apa yang ditinggalkan manusia dari segi pasif. Kalimat itu  bermaksud mengatakan dari segi kandungan pesan dan jiwanya bahwa : Bacalah demi nama Tuhanmu, bergeraklah demi nama Tuhanmu, berbicaralah demi  nama Tuhanmu, bekerjalah demi nama Tuhanmu.Adapun jika engkau enggan melakukan gerak atau aktivitas, hendaknya hal itu juga demi karena Tuhanmu dan, dengan demikian, pada akhirnya makna ayat itu adalah jadikan hidupmu secara keseluruhan, eksistensimu semuanya, baik sebab maupun tujuannya adalah untuk Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Selanjutnya, ulama besar itu menulis : “Kalau ayat mulia ini jelas maknanya dari sisi aktif yang mendorong untuk menjadikan bacaan dengan nama Allah”, sisi pasif – turun juga kemudian- ayat-ayat yang sangat tegas petunjuknya serta jelas maknanya yang menyatakan : “Dan janganlah kamu memakan dari apa yang tidak disebut nama Allah atasnya, dan sesungguhnya ia sungguh adalah suatu kefasikan.” Apa yang disembelih di atas berhala atau atas namanya, bukanlah sesuatu yang dimaksudkan untuk  wajah Ilahi. Dengan demikian, ia juga suatu kefasikan karena ketika itu tidak disebut nama Allah, itu berarti apa yang tidak disebut nama Allah atasnya haruslah dihindari. Melakukannya ketika itu adalah kefasikan yang berbeda-beda tingkatannya dalam kekejian – tinggi atau rendah, sedikit atau banyak .” Demikian, pandangan Syeikh Abdul Halim Mahmud.

SUMBER BACAAN :
1.        Tafsir al-Misbah jilid. 3, M.QURAISH SHIHAB.PROF.DR.
2.        Mukjizat al-Qur’an,  M.QURAISH SHIHAB.PROF.DR.
3.        Qur’an dan Terjemahannya, KEMENTERIAN AGAMA RI.
4.        Fiqih Sunnah, SYEIKH SAYYID SABI’.
5.        Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, SYEIKH SAYYID KUTUB.
6.        Fiqih Indonesia, M.HAMDAN RASYID, DR,MA.KH.
7.      IBNU TAIMIYAH, Dalam Pembaruan Salafi & Dakwah Reformasi, SYEIKH SAID ABDUL AZHIM,DR.
8.      Shahih Bukhari.
9.       Kumpulan Hadits-hadits Shahih.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                

Kamis, 25 April 2013

SYARAT,RUKUN DAN WAJIB HAJI


SYARAT,RUKUN DAN WAJIB HAJI
OLEH : DRS.HM.SAKTI RANGKUTI,MA

KELOMPOK BIMBINGAN IBADAH HAJI ( KBIH )
SHAFA WAL MARWAH KECAMATAN GALANG KABUPATEN DELI SERDANG
                                                                             
A. Syarat Wajib Haji

Syarat wajib haji adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang sehingga dia diwajibkan untuk melaksanakan haji, dan barang siapa yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syarat tersebut, maka dia belum wajib menunaikan haji. Adapun syarat wajib haji adalah sebagai berikut :

1. Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Merdeka
5. Mampu

RUKUN PELAKSANAAN IBADAH HAJI DAN UMRAH


RUKUN PELAKSANAAN IBADAH HAJI DAN UMRAH
OLEH : DRS.H.M.SAKTI RANGKUTI,MA.
GALANG, 25 APRIL 2013
KELOMPOK BIMBINGAN IBADAH HAJI (KBIH) SHAFA WAL MARWAH KECAMATAN GALANG.
NIAT HAJI.
NAWAITUL  HAJJA WA AHROMTU BIHI LILLAHI TA’ALA.
ARTINYA : SENGAJA AKU MENGERJAKAN HAJI DAN AKU BERIHRAM DENGANNYA KARENA ALLAH TA’ALA.
NIAT UMRAH.
NAWAITU UMROTA WA AHROMTU BIHA LILLAHI TA’ALA.
ARTINYA :  SENGAJA AKU MENGERJAKAN UMRAH DAN AKU BERIHRAM DENGANNYA KARENA ALLAH TA’ALA.

Rabu, 17 April 2013

SANTET DALAM PROSFEKTIF ISLAM


Santet Dalam  Prosfektif  Islam

Oleh : drs.HM.SAKTI RANGKUTI,MA.


Kita tidak menafikkan dizaman teknologi serba canggih dan kehidupan modern dewasa ini kejahatan sihir santet, teluh, guna-guna masih berkembang di Indonesia, tidak terkecuali juga di daerah perkotaan, desa dan pedalaman-pedalam di negeri yang kita yang kita cintai ini. Banyak penyakit yang ditimbulan akibat guna-guna tidak bisa dibuktikan dengan cara medis, sementara  untuk memastikan santet dengan bantuan orang pintar dan secara  hukum positif  kejahatan santet tidak bisa dibuktikan sehingga polisi tidak bisa menidak dan menangkap pelaku santet. Hal ini yang menyebabkan aksi massa sering terjadi.
Dari sisi sejarah tidak bisa dipastikan kapan awal mula datang dan berkembangnya santet itu. Namun sebagian para pakar berpendapat santet mulai berkembang pada zaman mesir kono terutama di daerah Babylonia. Santet itu pada mulanya  mulai dipraktekkan adalah untuk pengobatan dan sebagian menggunakan untuk mengadu ilmu sihir. Namun  terlepas dari  praktek perdukunan dan santet  sangat berbahaya bagi umat Islam, haram hukumnya bagi umat Islam  melanggar atau melangkahi kuasa Allah SWT. Membuat penderitaan atau kematian pada orang lain hal ini adalah  perbuatan dosa besar, menyantet adalah perbuatan syirik, dan termasuk dosa paling besar karena telah melakukan penyekutuan terhadap Allah SWT.

KISAH NABI ADAM AS.

Nabi Adam as
Kisah Para Nabi dan Rasul dalam Al-Quran
OLEH :
GURU AGAMA ISLAM SMAN 1 GALANG KECAMATAN GALANG
DRS.HM.SAKTI RANGKUTI,MA



DAFTAR ISI
 


Pendahuluan
Nama
Adam
Usia
930 tahun
Periode sejarah
5872 - 4942 SM
Tempat turunnya di bumi
India, ada yang berpendapat di Jazirah Arab
Jumlah keturunannya (anak)
40 (laki-laki dan perempuan)
Tempat wafat
India, ada yang berpendapat di Mekah
di Al-Quran namanya disebutkan sebanyak
25 kali
Adam (berarti tanah, manusia, atau cokelat muda) atau Nabi Adam as sebagai manusia pertama, bersama dengan istrinya, Hawa.
Merekalah orang tua semua manusia di dunia.
Di dalam Al-Quran, nama Adam as, disebutkan 25 kali dalam 25 ayat.



Penciptaan Adam
Setelah Allah SWT. menciptakan bumi, langit, dan malaikat, Allah berkehendak untuk menciptakan makhluk lain yang nantinya akan dipercaya menghuni, mengisi, serta memelihara bumi tempat tinggalnya. Saat Allah mengabari para malaikat akan kehendak-Nya untuk menciptakan manusia, mereka khawatir makhluk tersebut nantinya akan membangkang terhadap ketentuan-Nya dan melakukan kerusakan di muka bumi. Berkatalah para malaikat kepada Allah:
"Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" (Q.S. Al-Baqarah [2]:30)
Allah kemudian berfirman untuk menghilangkan keraguan para malaikat-Nya:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah [2]:30)
Lalu diciptakanlah Adam oleh Allah dari segumpal tanah. Setelah disempurnakan bentuknya, maka ditiupkanlah roh ke dalamnya sehingga ia dapat bergerak dan menjadi manusia yang sempurna. Awalnya Nabi Adam a.s. ditempatkan di surga, tetapi terkena tipu daya iblis kemudian diturunkan ke bumi bersama istrinya karena mengingkari ketentuan Allah.

KISAH NABI IBRAHIM AS

Nabi Ibrahim as
Kisah Para Nabi dan Rasul dalam Al-Quran
Editor : drs.HM.Sakti Rangkuti,MA.
Guru Agama Islam SMAN 1 Galang Kecamatan Galang

DAFTAR ISI
 


Pendahuluan
Nama
Ibrahim bin Azar
Garis Keturunan
Adam as Syits Anusy Qainan Mahlail Yarid Idris as Mutawasylah Lamak Nuh as Sam Arfakhsyadz Syalih Abir Falij Ra'u Saruj Nahur Azar Ibrahim as
Usia
175 tahun
Periode sejarah
1997 - 1822 SM
Tempat diutus (lokasi)
Ur di daerah selatan Babylon (Irak)
Jumlah keturunannya (anak)
13 anak
Tempat wafat
Al-Khalid (Hebron, Palestina/Israel)
Sebutan kaumnya
Bangsa Kaldan
di Al-Quran namanya disebutkan sebanyak
69 kali
Ibrahim (tahun 1997 SM s/d 1822 SM) merupakan nabi dalam agama Samawi, dan sering disebut sebagai "bapak para nabi". Ia mendapat gelar Khalil Allah atau Sahabat Allah. Selain itu beliau bersama anaknya, Nabi Ismail terkenal sebagai pengasas Kaabah.
Ibrahim, Bapak Para Nabi
Nabi Ibrahim al-Khalil dilahirkan di Ur, daerah bagian selatan Irak. Beliau lahir di kalangan masyarakat penyembah berhala. Mereka membuat patung pada zaman Raja Namrud bin Kan'an. Ayahnya, Azar adalah seorang yang cukup pandai dalam membuat berhala yang menyesatkan ini. Dia lalu memerintahkan Ibrahim untuk menjualnya ke pasar. Ibrahim pun membawanya dan berteriak di pasar, "Siapa yang mau membeli benda berbahaya dan tidak bermanfaat ini?!"
Ketika Ibrahim beranjak dewasa, beliau mengingkari perlakuan kaumnya yang menyembah berhala-berhala itu. Hal ini terekam dalan firman Allah, "Sungguh, sebelum dia (Musa dan Harun) telah kami berikan kepada Ibrahim petunjuk, dan Kami telah mengetahui dia," (QS. Al-Anbiya' [21]: 51).